Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Seri’ Category

The Alchemyst

Judul : The Alchemyst (The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel #1)

Pengarang : Michael Scott

Penerbitan : 2007 oleh Delacorte Press (B. Inggris)

Jumlah Halaman : 375

Genre : fantasi

Bagi penggemar Harry Potter, nama Nicholas Flamel mungkin sudah tidak asing lagi. Dalam buku pertama seri tersebut, Flamel diceritakan sebagai seorang alkemis yang menggunakan philosopher’s stone untuk hidup abadi. Dalam kehidupan nyata, Flamel adalah seorang alkemis yang meninggal di Paris pada tahun 1418.

Dalam serial The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel karya Michael Scott, tokoh Flamel diceritakan masih hidup di abad ke-21 dan tinggal di San Fransisco. Nicholas Flamel dan istrinya, Perenelle (yang juga dikisahkan hidup abadi), memiliki toko buku, di mana seorang anak bernama Josh Newman bekerja pada masa liburannya. Kembaran Josh yang bernama Sophie bekerja di sebuah coffee shop yang berada di seberang jalan dari toko buku milik Flamel.

Kedatangan Dr. John Dee, seorang ahli sihir Inggris (yang juga hidup abadi), ke toko milik Flamel menjadi pemicu serangkaian kejadian magis yang melibatkan Josh dan Sophie. Dee datang ke toko milik Flamel untuk mencuri Codex, sebuah buku yang ditulis oleh Abraham the Mage. Dee menginginkan buku itu karena selain memuat resep ramuan kehidupan abadi menggunakan philosopher’s stone, buku itu juga mengandung sejarah serta berbagai rahasia dunia. Di tangan yang salah, rahasia-rahasia yang terdapat dalam Codex dapat mengakibatkan kehancuran dunia.

Akhir dari pertemuan singkat dengan Dee itu menjadi malapetaka bagi Flamel: tokonya hancur, istrinya diculik oleh Dee, serta Codex pun berhasil direbut oleh Dee. Untungnya, Josh berhasil merobek dua lembar terakhir dari Codex, yang juga merupakan dua lembar paling penting bagi misi yang hendak dijalankan Dee. Ia membutuhkan Codex untuk membangkitkan kembali ras Dark Elder untuk kembali menguasai dunia. Namun karena hilangnya dua halaman tersebut, Dee harus menunda rencananya untuk membangkitkan kembali para Dark Elder – prioritasnya berubah menjadi mengejar Flamel serta si kembar Josh dan Sophie yang kini berada dalam lindungan Flamel.

Untuk melindungi Josh dan Sophie dari Dee dan kekuatan sihirnya, Flamel memutuskan untuk membangitkan kemampuan sihir Josh dan Sophie sekaligus melatih mereka untuk menguasai elemental magic: udara, api, air, tanah. Salah satu orang yang dapat membangkitkan kekuatan sihir dan  adalah seorang Elder, yaitu Hekate. Dalam perjalanan menuju realm milik Hekate, mereka dibantu oleh seorang Elder generasi baru ahli beladiri bernama Scatach, sementara Dee dibantu oleh dua Elder, Morrigan dan Bastet.

Walaupun awalnya memiliki prosperk cerah, pada akhirnya ternyata bukunya biasa-biasa saja. Memang, seluruh buku menceritakan kejadian yang terjadi dalam dua hari, dan sangat banyak hal yang terjadi dalam tempo waktu tersebut. Sayangnya, penempatan dialog yang kurang pas, terutama di bagian aksi, membuat cerita tersendat-sendat dan terasa bertele-tele. Saya juga kesulitan menamatkan buku ini karena kurang greget.

Karakter-karakternya pun kurang berkembang. Josh dan Sophie adalah tokoh-tokoh yang sangat hambar – kurang menarik dan tidak bisa menarik simpati saya sebagai pembaca. Dr. John Dee jugs merupakan antagonis yang membosankan. Sejauh ini, tokoh favorit saya adalah Scatach, ahli bela diri yang umurnya bahkan jauh lebih tua daripada Flamel.

Walaupun bukunya biasa-biasa saja, masalahnya, saya sangat suka dengan mitologi, dan buku ini mencaplok sangat banyak tokoh dari berbagai jenis mitologi, seperti Scatach, Bastet dan Morrigan. Scatach dan Morrigan berasal dari mitologi Irlandia, sedangkan Bastet merupakan dewi berkepala kucing dari mitologi Mesir kuno. Nicholas dan Perry Flamel, serta John Dee pun bukan tokoh rekaan sang pengarang – mereka benar-benar pernah hidup di bumi ini berabad-abad yang lalu. Kepiawaian Michael Scott dalam memasukkan unsur-unsur sejarah, mitologi dan sihirlah yang sebetulnya memicu saya untuk menyelesaikan buku ini, karena saya selalu menanti-nantikan tokoh mitologi yang akan dimunculkan berikutnya.

Secara keseluruhan, bukunya biasa saja. Menghibur, tapi kurang greget. Sangat dianjurkan bagi yang menyukai fantasi, apalagi yang berlandaskan mitos, seperti buku-bukunya Rick Riordan. Saya rasa anak-anak akan suka buku ini karena unsur petualangannya cukup kental, walaupun karakter-karakternya kurang tergali dengan baik.

Read Full Post »

Judul : Autumn In Paris

Pengarang : Ilana Tan

Penerbitan : 2007 oleh Gramedia Pustaka Utama

Jumlah Halaman : 264

Genre : romance

Belakangan ini, saya dan teman saya, K, ingin menambah buku-buku karya pengarang Indonesia yang kami baca. Untuk menghemat, sudah beberapa kali kami memutuskan untuk patungan membeli buku. Salah satunya adalah Autumn In Paris oleh Ilana Tan. K sudah pernah membacanya, namun saya belum. Kami memutuskan untuk membacanya karena kami membutuhkan bacaan yang ringan dan menghibur.

Ceritanya, Tara Dupont yang bekerja sebagai penyiar radio di Paris, berkenalan dengan Tatsuya Fujisawa, seorang pria Jepang yang tengah ke Paris untuk bekerja sekaligus mencari ayah kandungnya. Karakter Tatsuya membangkitkan rasa penasaran Tara, dan hubungan pertemanan mereka lama-lama tumbuh menjadi cinta…

… Dan sepertinya hanya itu yang bisa saya ceritakan. Tidak mungkin menceritakan lebih jauh karena konflik utama dalam buku ini merupakan spoiler yang sangat mempengaruhi alur cerita. Tapi intinya, ada seseorang dalam masa lalu Tara dan Tatsuya yang mengancam keberlangsungan hubungan cinta mereka berdua.

Sebetulnya sinopsis cerita di atas tidak jauh berbeda dari blurb yang terdapat di belakang buku ini. Tapi mau bagaimana lagi, karena alur ceritanya sangat sederhana dan mudah ditebak. Namun walaupun mudah ditebak, ternyata ketika membaca buku ini saya tetap saja saya menangis “shameless tears”, kalau kata K, hahaha. Autumn In Paris membuat saya cukup galau karena masalah yang mereka hadapi dapat menghancurkan hubungan mereka. Ibaratnya, kalau menemui batu sandungan seperti ini, ya, pupus sudah semua harapan.

Tetapi walaupun sangat sederhana, Autumn In Paris cukup menghibur. Gaya bercerita Ilana Tan yang tidak bertele-tele dan dialog yang enak dibaca membuat beberapa jam yang saya habiskan untuk membaca buku ini tidak terasa terbuang dengan percuma. Kalau memang mencari bacaan yang mudah dicerna tapi masih mampu mengaduk-aduk emosi, Autumn In Paris bisa dibaca. Saya jadi penasaran dengan karya Ilana Tan yang lain, tapi sepertinya harus menyiapkan mental dulu – takutnya menguras air mata lagi seperti Autumn In Paris, hehehe. 😀

 

Read Full Post »

[Resensi] Divergent

Divergent

Judul Buku : Divergent

Pengarang : Veronica Roth

Penerbitan : 2011 oleh Katherine Tegen Books

Jumlah Halaman : 487

Ringkasan Cerita

Chicago masa depan. Keberadaan manusia dipisahan berdasarkan sifat yang dianutnya ke dalam 5 faction (golongan) yang berbeda. Ada Abnegation yang menganut selflessness (ketidakegoisan), Dauntless yang menganut keberanian, Erudite yang menganut pengetahuan, Candor yang meganut kejujuran, serta Amity yang menganut kedamaian. Kelima faction ini hidup rukun, dan masing-masing faction memiliki peran spesifik dalam kehidupan bermasyarakat.

Beatrice Prior dan keluarganya merupakan Abnegation, yang budayanya mengharuskan mereka untuk bertindak setidakegois mungkin, misalnya dengan selalu mengalah kepada orang lain, memakai baju abu-abu agar tidak menarik perhatian serta selalu siap untuk menolong dan mengabdi kepada orang lain. Sikap-sikap tidak egois ini membuat Abnegation ditunjuk oleh faction lain untuk memegang pemerintahan – teorinya adalah pemerintahan harus dipegang oleh orang-orang yang selalu bekerja berdasarkan kepentingan umum dan bukan untuk memenuhi ambisi pribadi. Semestinya para pejabat pemerintah dan wakil rakyat bisa mencontoh sifat ini dari Abnegation yaa, hahaha :D.

Diceritakan bahwa pada saat berusia 16 tahun, setiap orang akan mengikuti Choosing Ceremony untuk menentukan apakah mereka akan melanjutkan hidup di faction yang sama atau pindah ke faction lain. Pada tes yang dilakukan sebelum Choosing Ceremony untuk melihat kecenderungan sifat yang dianut seseorang, hasil tes Beatrice menunjukkan bahwa dia tidak hanya memiliki satu sifat yang menonjol, namun memiliki tiga: Abnegation, Dauntless dan Erudite. Orang-orang yang cocok di lebih dari satu faction disebut Divergent. Keberadaan seorang Divergent sangat jarang dan Beatrice diperingatkan untuk tidak menceritakan hasil tesnya kepada siapapun karena menjadi seorang Divergent sangatlah berbahaya.

Pada saat Choosing Ceremony, Beatrice memutuskan untuk meninggalkan keluarganya dan bergabung dengan Dauntless. Setelah memilih Dauntless pada Choosing Ceremony pun tidak berarti Beatrice bisa langsung menjadi anggota penuh Dauntless. Beatrice dan calon anggota Dauntless yang lain harus melalui proses inisiasi, dan dari 20 orang calon anggota hanya 10 orang yang akan lulus inisiasi dan berhak menjadi Dauntless. Sepuluh orang yang tereliminasi akan dikeluarkan dari Dauntless dan menjadi factionless, yaitu orang-orang yang tidak termasuk dalam faction manapun.

Setibanya di Dauntless, Beatrice mengubah namanya menjadi Tris. Hampir seluruh buku ini menceritakan proses inisiasi yang dilalui Tris dan teman-temannya. Dari belajar bertarung dengan tangan kosong, melempar pisau, hingga melalui fear simulation, yaitu simulasi yang menguji ketahanan para anggota terhadap ketakutan-ketakutan terbesar mereka.

Sementara di Dauntless para anggota berjuang untuk menjadi yang terbaik, di dunia luar mulai terjadi pergolakan, ketika para Erudite mulai mempertanyakan keberadaan Abnegation yang menjadi pelaku pemerintahan. Erudite mencba menghasut masyarakat dengan menyebarkan berita bahwa Erudite menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya. Hal-hal yang terjadi di luar mulai mempengaruhi kondisi di Dauntless serta pandangan Tris terhadap dirinya sendiri dan dunianya.

Ulasan

Sebelumnya, saya ingin mengatakan bahwa saya cukup iri karena sang pengarang, Veronica Roth, berhasil menerbitkan buku ini di usia 23 tahun! Wow! Dia berhasil menulis buku ini pada saat dia masih kuliah. Sirik banget deh :O

Dunia yang ditinggali oleh Tris merupakan sebuah dystopian future yang sayangnya kurang dibangun dengan baik. Pembaca diberi tahu alasan yang melatarbelakangi pemisahan masyarakat berdasarkan faction. Sayangnya, pemisahan berdasarkan sifat-sifat manusia merupakan ide yang saya pikir tidak masuk akal. Bayangkan saja. Orang-orang yang mengagungkan keberanian tidak menjunjung tinggi kejujuran. Atau orang-orang yang menjunung tinggi ketidakegoisan tidak mengagungkan kedamaian. Saya rasa masyarakat yang dipisahkan berdasarkan faction hanya dapat tercipta jika kita semua robot atau dicuci otak.

Tapi buku ini kan tidak menyatakan demikian. Orang-orang tergabung dalam suatu faction karena pilihan yang dibuatnya pada umur 16 tahun.

Divergent diceritakan dengan sudut pandang orang pertama, sehingga pembaca diajak memasuki pikiran Tris, namun pola pikir dan kelakuannya tidak mengundang rasa simpati. Di akhir buku, saya sendiri sudah tidak peduli lagi pada nasib Tris di buku selanjutnya, maupun bagaimana kelanjutan hubungan antara Tris dan Four, instrukturnya yang ”misterius” dan berwatak keras.

Selain latar dan penokohan, salah satu kekurangan terbesar di buku ini adalah tidak dijelaskan mengapa menjadi Divergent itu begitu berbahaya. Di buku ini hanya diceritakan satu kelebihan menjadi seorang Divergent, yaitu kemampuan untuk memanipulasi simulasi. Sepanjang cerita, Tris diperingatkan oleh beberapa tokoh lain bahwa menjadi Divergent itu berbahaya karena banyak orang yang akan megincar nyawanya, namun tidak pernah dijelaskan alasannya.

Sebetulnya rasa penasaran terhdapa hal ini yang membuat saya bertahan membaca Divergent sampai tamat. Tidak terjawabnya pertanyaan tersebut membuat saya sangat frustrasi. Mungkin pertanyaan tersebut akan terjawab di buku kedua dari seri ini, Insurgent, yang baru terbit Mei tahun ini, namun saya sendiri sudah tidak berencana melanjutkan membaca seri ini. Saya sendiri tidak terlalu suka buku ini dan merekomendasikannya hanya jika ingin membaca buku yang mengandung banyak adegan laga namun tidak menguras emosi.

Read Full Post »